29 Januari 2008

SERIAL SILAT …belum ketemu judul



Eisode perdana : BIDADARI JELITA


satu

Sesosok bayangan hijau bergerak cepat ke arah barat di sebelah selatan hutan jati. Dari kejauhan terlihat ia menerobos hujan lebat yang disertai gemuruh angin dan hawa dingin. Sementara itu pula suara tangisan bayi menjerit-jerit menyiratkan rasa ketakutan menyertai larinya sosok bayangan itu. Ketika gemerlap kilat membelah langit dan sekejap kemudian suara petir menggelegar menggetarkan bumi.

         “Hhh..! Kuharap mereka tak mampu mengejarku.” dengus sosok bayangan hijau itu yang ternyata seorang perempuan paruh baya memondong bayi terbalut kain. Dadanya turun naik, nafasnya masih memburu. Dia menoleh ke belakang, seperti ada kecemasan tampak di matanya.
Ditatapnya kaki langit nun jauh di barat sambil mengusap air hujan yang mengalir di wajahnya. Lembah ngarai yang luas di hadapannya sudah tampak tak jelas karena tersaput oleh kabut yang mulai turun. Rasa iri menyeruak di hatinya menyaksikan perbedaan nyata itu. Hujan deras disertai angin dan hawa dingin di sekitarnya, telah menyiksa bayi mungil yang dipondongnya, sementara di seberang sana warna cerah menyemburatkan cahaya merah tembaga memamerkan keindahannya. 
Rambutnya yang hitam panjang dan lurus basah kuyup hingga lengket sampai ke pinggang. Begitu juga gaunnya yang tipis dari sutera berwarna hijau muda semakin mempertunjukkan keindahan lekuk-lekuk tubuhnya, menawan siapa pun yang melihatnya. Betapa tidak, sesosok tubuh tinggi dan langsing dengan leher jenjang menyangga wajah yang cantik jelita.
“Hmm...cup,cup, jangan nangis lagi, Manis...!” Dikecupi dan diusap-usapnya dengan penuh belas kasih kening bayi mungil itu dan semakin erat dipeluknya, seakan ingin ia menghangatkan bayi itu dengan hawa dari tubuhnya. ”Kamu aman dipelukanku, Manis. Buanglah rasa cemasmu, tak perlu takut lagi, aku akan jadi pengganti ibumu.”
Menggeliatlah bayi mungil itu sambil mulutnya bersuara mirip lenguhan, mungkin disebabkan oleh dinginnya air hujan membasahi sekujur tubuhnya. Lalu perempuan cantik berambut panjang dan berhidung bangir itu tersenyum. Senyuman yang tulus dan penuh kasih seorang wanita terhadap makhluk kecil tak berdaya yang kini berada dalam pelukannya.
”Lihatlah, hujan telah reda !” ujar perempuan cantik itu. Di punggungnya tersampir pedang dengan warangka hitam legam. ”Aku senang melihatmu tak menangis lagi. Hmm..dengar, Sayang... aku bersumpah! Akan kulindungi dan kubesarkan dirimu nanti. Akan kudidik dan kuajar dirimu. Kelak kamu harus jadi pengganti ayahmu!”
Hujan memang sudah mereda. Namun tak urung sebentar lagi malam turun dan gelap perlahan sudah mulai menyelimuti bumi yang dingin dan basah. Angin dari selatan berhembus agak kencang membuatnya menggigil.
”Kita lanjutkan, Sayang. Kita harus tiba sebelum tengah malam nanti. Akan kuhangatkan tubuhmu nanti di pondokku.” Wanita itu memandangi bayi mungil di pelukannya. Berniat akan segera melanjutkan perjalanannya, sementara hujan sudah benar-benar reda, namun hawa dingin dan gelap malam mulai membungkus bumi. 
Namun baru beberapa tindak saja kakinya melangkah, tiba-tiba hatinya tersentak kaget oleh suara tawa terkekeh.
”Hue heh heh heh...! Bocah ayu... mau ke mana? Hue heh heh heh...!”
Seketika itu juga perempuan cantik berambut panjang membalikkan tubuhnya ke belakang. Naluri  menyuruh tangan kanannya bergerak ke pundak meraih pedang dan melolos dari warangkanya.
”Kerparat kalian!” dengus perempuan cantik itu. Tampak sekali dia menahan amarah dan geram di dadanya.
Ditatapnya lelaki bertubuh tinggi besar dan berkepala plontos yang tengah berjalan menghampirinya. Bajunya kulit macan loreng, menyelempang di tubuh sebelah kanan hingga memperlihatnya bekas luka yang sudah menjadi codet besar pada pundak kirinya. Sebuah anting-anting bundar sebesar gelang menggantung di kuping kirinya. Wajahnya bengis, tetapi tawanya yang terkekeh membuatnya tampak lucu. Sementara seutas rantai baja terlilit di lengan kanannya yang kekar dan berotot.
”Serahkan bayi itu kepadaku, Cah ayu, atau kucabi-cabik tubuhmu biar cacat seumur hidupmu!”
Lelaki berkepala plontos itu menghentikan langkahnya tiga tombak di depan wanita cantik yang dipanggilnya Cah ayu.
”Apa gerangan yang membuat kalian begitu dendam kesumat terhadap mereka hingga bayi yang tak tahu apa-apa pun harus kalian buru seperti ini?”
Lelaki berkepala plontos terkekeh. Sementara kedua kawannya bersiap di belakangnya. Mereka telah mendekatkan tangannya ke senjata masing-masing. Yang satu lelaki berambut panjang kriting dan berwajah kotor, satunya lagi lelaki bertubuh gempal tanpa baju, hanya mengenakan celana hitam dan tali tambang sebesar lengan terbuat dari kulit kayu melilit di perutnya. Lelaki yang ini mengenakan topi dari kulit binatang yang menutup sampai ke lehernya.
”Jangan buang waktu, Gropala!” bentak lelaki berambut kriting kepada kawannya yang berbaju kulit macan loreng.
”Sabar sebentar. Hue heh... Siapa tahu bidadari jelita akan serahkan bayi itu kerna sayang dengan tubuhnya. Heh heh heh..., lalu kuperkenankan kau menikmatinya nanti...!”
”Bedebah! Memang iblis laknat kalian!” dengus wanita cantik yang karena kejelitaannya layaklah Gropala menyebutnya bidadari itu, ”Kalian pikir aku akan serahkan bayi ini, lalu dengan mudah kalian bisa menyentuh tubuhku, huh!”
Sambil berkata begitu si Bidadari jelita membalikkan tubuhnya, dan secepat itu pula menghentakkan kaki berlari meninggalkan tempat itu. Barangkali inilah pilihan terbaik baginya. Siapa tahu dengan mengandalkan kecepatan larinya ia bisa meloloskan diri dan menghindari pertarungan untuk membela dan melindungai bayi di pelukannya. Tentu ia menyadari kalau ketiga bedebah di hadapannya bukan lawan sembarangan yang akan dengan mudah mampu ditaklukkannya. Apalagi suasana sudah semakin gelap. Malam akan segera turun. Atau bisa jadi tindakannya ini hanyalah muslihat belaka sambil mencari jalan keluar bagaimana melepaskan diri dari ancaman ketiga lelaki bengis.
Akan tetapi Gropala yang terlanjur sesumbar dengan kata-katanya tadi, tak ingin membiarkan mangsanya lolos begitu saja. Meskipun tubuhnya tinggi besar ternyata lelaki berbaju kulit macan loreng itu mampu memperlihatkan gerakan yang gesit dan cepat. Jelas dia bukan lelaki sembarangan. Gerakannya yang dipertunjukkan barusan membuktikan kalau dirinya paling tidak memiliki ilmu kanuragan yang tidak rendah dan tentu tak bisa begitu saja diremehkan. Inilah rupanya yang membuat si Bidadari jelita memilih lolos untuk sementara, menghindar dari bentrokan dengan mereka bertiga.
”Kabur ke mana pun akan kuburu kau, Cantik!”
Gropala, disusul kedua kawannya langsung memburu ke arah larinya si cantik jelita yang terus membawa lari bayi itu ke arah barat. 
Terbentang lembah sangat luas yang bila dipandang dari kejauhan sudah tak nampak jelas karena tertutup kabut yang turun dari gunung dan perbukitan di sekitar karena hawa dingin dan lembab. Namun wanita dipanggil bidadari jelita itu terus berlari tak mempedulikan ketiga lelaki yang terus memburu di belakangnya. Entah siasat apa dalam benaknya hingga dirinya memilih untuk kabur. Seperti yang dijanjikan kepada bayi dalam peluknya tadi, bahwa dia akan segera membawanya ke pondoknya. Dan berharap sebelum tengah malam akan segera sampai di tempat tujuan.
Jalan setapak licin dan berbatu-batu terjal, serta rintangan berupa semak berduri atau batu-batu sebesar kerbau di kanan, kiri, dan depan, tak perlu dipedulikan. Dia hanya perlu waspada dan hati-hai. Tetap terus berhati-hati kalau-kalau ketiga lelaki pemburunya mampu sampai kepada dirinya. Dia terus berlari. Mengerahkan segala kemampuan ilmu peringan tubuhnya untuk terus mempercepat langkah kakinya agar sejauh mungkin meninggalkan ketiga lelaki yang mengejarnya. Sepertinya sudah hafal dan kenal betul setiap jengkal tanah yang dipijaknya. Harus belok ke kanan atau kekiri, atau terus melesat ke depan, semua sudah di luar kepala, tak perlu ragu dan bimbang memutuskan pilihannya. Satu arah tujuan pasti menuju ke pondok tempat tinggalnya.
Malam terus bergerak turun menggelarkan kegelapan dan hawa dingin yang kian menusuk sampai ke tulang. Dan bulan sepotong semangka tak becus apa-apa, tak mampu memberi cahaya bagi langkah pelarian Si Bidadari Jelita. Hanya mampu memberi kepastian arah di mana barat, di mana timur, di mana selatan, dan di mana utara. Dan anehnya, si Jabang bayi seakan memaklumi dan mengerti benar gemuruh gelisah dan cemas hati bidadari penolongnya. Ia terdiam, merasakan betul kehangatan dan degupan di dada pengasihnya.


***








.......nantikan kelanjutannya !!